Kebijakan ketat bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) disorot tajam setelah salah satu bank terbesar di Amerika Serikat (AS) Silicon Valley Bank (SVB) kolaps pada Jumat (10/3/2023).
SVB kolaps hanya 48 jam setelah berencana mengumpulkan dana sebesar US$ 2,25 miliar untuk menambah modal pada Rabu (8/3/2023).
Bank yang berdiri pada 1983 tersebut membutuhkan suntikan modal karena banyaknya klien mereka yang menarik simpanan.
Persoalan bermula dari lonjakan suku bunga The Fed. Bank sentral AS tersebut mengerek suku bunga acuan sebesar 450 basis points (bps) dalam setahun terakhir menjadi 4,5-4,75%. Suku bunga tersebut adalah yang tertinggi sejak September 2007.
Pada empat pertemuan Juni, Juli, September, dan November 2022, The Fed bahkan menaikkan suku bunga masing-masing sebesar 75 bps.
Sejak The Fed memberlakukan kebijakan moneter suku bunga pada 1990, The Fed tidak pernah menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps selama empat kali beruntun.
Kenaikan agresif The Fed ini hanya berselang dua tahun setelah The Fed secara agresif menurunkan suku bunga karena pandemi Covid-19. Suku bunga diturunkan hingga 0-0,25% atau level terendah sepanjang sejarah
Kenaikan suku bunga The Fed yang agresif membuat rencana penawaran saham perdana (IPO) start up tertunda. Kondisi ini membuat pengumpulan dana di luar IPO semakin mahal.
Nasabah SVB, terutama start up, pun kemudian banyak yang menarik dana mereka dari SVB untuk memenuhi likuiditas mereka. Penarikan dana yang terus menerus membuat SVB goyang dan memicu kekhawatiran.
Hingga Kamis (9/3/2023), penarikan modal dari SVB menembus US$ 42 miliar atau Rp 648,69 triliun. SVB pun terpaksa menjual kepemilikan obligasi mereka senilai US$ 21 miliar atau Rp 324,5 triliun untuk mendapatkan dana.
Sebagian besar obligasi yang dimiliki SVB adalah surat utang pemerintah AS.
Namun, dengan kondisi saat ini, penjualan bond malah membuat bank tersebut rugi hingga US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 27,8 triliun.