Melihat Potensi Keuntungan dari Pembiayaan Pengadaan Rudal

Infografis/Korut  Tembak Rudal 1500 Km, Ada Apa  Kim Jong Un?/Aristya Rahadian

Walaupun Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyatakan bahwa program modernisasi pertahanan, khususnya pengadaan senjata, terhambat akibat pandemi Covid-19, namun fakta menunjukkan pemerintah memberikan prioritas pada kegiatan itu. Hal demikian tercermin dari besaran Pinjaman Luar Negeri (PLN) yang telah disetujui oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk kegiatan akuisisi senjata selama periode 2021-2022.

Total Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) yang telah disetujui oleh Sri Mulyani selama periode itu adalah US$ 14,5 miliar atau dua kali dari total PSP selama Minimum Essential Force (MEF) tahap kedua periode 2015-2019. Boleh jadi hambatan yang dimaksud oleh eks Komandan Jenderal Kopassus itu adalah anggaran yang bersumber dari Rupiah Murni, baik belanja modal maupun Pinjaman Dalam Negeri (PDN).

Selama periode 2021-2022, sebagian PSP yang diterbitkan dialokasikan untuk pengadaan platform seperti pesawat tempur Rafale dan pesawat tanpa awak karya anak bangsa Turki. Begitu pula dengan kegiatan refurbishment sejumlah kapal perang yang bernilai US$ 749,4 juta.

Tidak ketinggalan juga pembiayaan kegiatan pemeliharaan dan perawatan senjata yang dibeli di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seperti meriam swagerak CAESAR kaliber 155 mm buatan Nexter Prancis dan Multi Launcher Rocket System (MLRS) Astros II Mk6 karya Avibras Brazil. Penerbitan PSP untuk kegiatan pemeliharaan dan perawatan senjata patut diacungi jempol karena berdasarkan pengalaman selama ini, kegiatan demikian tidak dapat mengandalkan pada Rupiah Murni karena alokasi belanja modal yang terbatas.

Seperti pernah diulas sebelumnya, pada Desember 2022 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas telah menyepakati usulan Kementerian Pertahanan untuk menambah alokasi PLN dalam Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2020-2024 untuk Kementerian Pertahanan sebesar US$ 5 miliar. Sehingga alokasi total DRPLN-JM 2024 bagi kementerian yang pernah dipimpin oleh Juwono Sudarsono ini mencapai US$ 25,7 miliar.

Nilai alokasi tersebut cukup fantastis karena melebihi gabungan alokasi PLN pada periode kedua Presiden Yudhoyono dan periode pertama Presiden Joko Widodo. Tentu saja pertanyaan yang muncul seiring dengan kenaikan alokasi PLN bagi Kementerian Pertahanan adalah apakah pemerintah masih memiliki ruang fiskal untuk pembiayaan utang luar negeri bagi belanja pertahanan?

Memasuki tahun 2023, alokasi PLN yang tersisa untuk Kemenhan adalah US$ 11,2 miliar yang diharapkan dapat membiayai rencana pengadaan kapal selam dan tambahan jet tempur Rafale. Sebelumnya Lapangan Banteng telah menerbitkan dua PSP untuk Rafale dengan total US$ 4 miliar, namun jumlah itu masih kurang karena belum mencakup 42 unit yang dijanjikan oleh Indonesia akan dibeli dari Prancis.

Sedangkan program akuisisi kapal selam memerlukan PLN dengan pagu US$ 2,1 miliar, di mana Naval Group asal Prancis bersaing dengan TKMS dari Jerman untuk memperebutkan dana tersebut. Melalui program itu, diharapkan pada awal 2030 kemampuan peperangan kapal selam Indonesia akan dapat dibangkitkan lagi setelah kegagalan program kapal selam murah dari Korea Selatan.

Komitmen pemerintah untuk mendukung kegiatan modernisasi pertahanan kembali dibuktikan pada awal tahun ini melalui penerbitan PSP sebesar US$ 3 miliar yang ditandatangani oleh Sri Mulyani. Di antara hal menarik dari PSP itu adalah pengadaan platform seperti pesawat terbang atau kapal perang tidak lagi mendominasi seperti pada sejumlah PSP yang terbit pada tahun 2021 dan 2022. Sebaliknya, akuisisi munisi dan rudal untuk mengisi platform yang selama ini telah dioperasikan oleh TNI lebih mendominasi. Hal ini merupakan langkah yang baik karena pembelian munisi dan rudal selama ini kurang menjadi prioritas dalam kegiatan modernisasi pertahanan.

Perang di Ukraina sekali lagi membuktikan kebenaran diktum bahwa “logistik tidak memenangkan perang, tetapi perang tidak dapat dimenangkan tanpa logistik”. Dalam hal munisi dan rudal untuk platform seperti pesawat tempur dan kapal perang, Indonesia selama ini selalu membeli dalam jumlah yang sangat sedikit dan tidak rutin.

Hal itu berimplikasi pada kegiatan latihan, di mana Indonesia sangat jarang melaksanakan latihan penembakan rudal setiap tahun, padahal keandalan suatu rudal hanya bisa diketahui melalui latihan penembakan secara rutin. Personel yang mengoperasikan rudal pun hanya akan mendapatkan profisiensi apabila sering melaksanakan latihan menembakkan rudal live, bukan sekedar latihan memakai simulator.

Sudah saatnya bagi Kemenhan untuk lebih memberikan prioritas pada pengadaan munisi dan rudal pada tahun-tahun ke depan. Keyakinan yang salah yaitu “tidak akan perang dalam 20 tahun ke depan” harus ditinggalkan karena perkembangan lingkungan strategis di kawasan Indo Pasifik sangat dinamis, khususnya di Laut Cina Selatan.

Kesiapan dukungan munisi dan rudal untuk berjaga-jaga ketika pecah perang perlu diperbaiki, karena negara pemasok tidak akan dengan cepat melakukan pasokan ulang kepada Indonesia apabila Indonesia terlibat perang dengan negara lain. Tentu tidak bagus untuk ditulis dalam buku sejarah bahwa Indonesia kalah perang karena gudang arsenalnya kehabisan stok munisi dan rudal.

Pada aspek industri pertahanan, pemerintah sejak era Presiden Yudhoyono mempunyai ambisi mengembangkan rudal nasional, namun hingga kini belum tercapai. Terdapat banyak faktor mengapa program pengembangan rudal nasional tidak tercapai, di antaranya karena Indonesia tidak memiliki mitra asing yang andal untuk mendukung program itu.

Program pengembangan rudal nasional pun tidak melalui skema seperti offset atau lisensi, melainkan hendak mengembangkan rudal dari nol. Padahal fakta menunjukkan bahwa Indonesia belum mempunyai pengalaman sama sekali dalam pengembangan rudal, sementara teknologi rudal merupakan campuran dari teknologi elektronika, metalurgi, propulsi, aeronautika dan lainnya.

Apabila pemerintah serius ingin membangun kemampuan nasional dalam teknologi dan manufaktur rudal, sebaiknya menjalin kerja sama dengan pabrikan rudal yang kredibel, misalnya dari Eropa. Salah satu cara yang tersedia dalam upaya menguasai teknologi dan manufaktur rudal adalah membeli rudal asal Eropa seperti Exocet dalam kuantitas besar dan tidak lagi membeli eceran seperti yang selama ini dipraktekkan.

Akuisisi dalam kuantitas besar harus diimbangi dengan permintaan offset atau lisensi kepada Original Equipment Manufacturer (OEM). Harus diingat bahwa tidak ada makan siang gratis dalam teknologi tinggi, termasuk teknologi pertahanan. Lisensi memang memberikan konsekuensi tersendiri bagi Indonesia, akan tetapi kebutuhan konsumsi rudal Indonesia untuk operasi dan latihan sebenarnya cukup tinggi kalau pemerintah berniat menjadikan TNI sebagai tentara profesional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*