Pada Senin (6/3/2023), pemerintah resmi menerbitkan aturan pemberian bantuan pembelian Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) khusus mobil dan motor listrik. Aturan ini berlaku pada 20 Maret 2023.
Hadirnya regulasi ini menandai babak baru dalam keseriusan pemerintah mendorong publik beralih ke kendaraan listrik. Semua dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan mengurangi emisi karbon.
Maka, untuk mengawal upaya ini kita semua harus melihat ke Norwegia. Kenapa?
Perlu diketahui, dalam catatan Norwegian Road Federation, Norwegia adalah negara pertama di dunia yang 80% kendaraanya dan setengah juta warganya sudah beralih menggunakan listrik pada 2022. Besarnya angka tersebut adalah buah manis dari perjalanan panjang yang telah dimulai sejak tahun 1990.
Sebelum tahun tersebut, Norwegia tak ubahnya seperti Indonesia. Sama-sama negara produsen dan pemakai aktif minyak bumi dan gas. Bedanya, Norwegia lebih cepat sadar dibanding Indonesia.
Mengutip Walbox, mereka akhirnya sadar telah berdosa kepada jutaan manusia karena menyumbang emisi gas rumah kaca sekitar 51,7 juta ton per tahun. Angka ini tergolong besar untuk ukuran negara di Eropa.
Sejak itulah, pemerintah Norwegia memulai menerapkan pajak karbon lebih tinggi dan fokus membangun sistem transportasi yang lebih ramah lingkungan. Salah satu caranya adalah mempromosikan Electrical Vehicle (EV).
Mempromosikan EV bukan upaya yang dapat dilakukan dengan semalam. Artinya, butuh waktu yang panjang. Namun, catat jurnalis Statista Felix Richter, pemerintah Norwegia punya komitmen kuat untuk menjalankannya. Komitmen itu terlihat pada kombinasi kebijakan dan kekayaan negara.
Melansir Time, langkah pertama yang elite Oslo lakukan adalah mengenakan pajak terhadap mobil baru berpolusi tinggi. Dan pada saat bersamaan, mereka tidak menerapkan pajak sama sekali terhadap EV, meski biaya produksinya lebih mahal.
Jadi publik diberi dua pilihan. Membeli mobil bensin baru berpajak tinggi yang jika ditotal harganya setara atau lebih dari EV, atau membeli EV baru saja yang bebas pajak.
Kebijakan ini jelas membuat persaingan industri otomotif lebih kompetitif dan menarik. Secara perhitungan jelas publik lebih memilih membeli EV. Peningkatan angka pembelian EV naik secara perlahan. Namun, bukan berarti terjadi migrasi industri besar-besaran.
Ketika pembelian mobil bensin masih terjadi, “keuntungan” dari tingginya pajak itu digunakan untuk mensubsidi kendaraan listrik, termasuk infrastrukturnya. Jadi, ada semacam subsidi silang.
Saat terjadi peningkatan dan arus subsidi meningkat, pada titik inilah pemerintah Norwegia memantapkan pemasangan infrastruktur pendukung. Sebut salah satunya stasiun pengisian bahan bakar listrik atau charging station.
Pemerintah Norwegia berupaya meningkatkan ketersediaan charging station di setiap 50 kilometer di jalan raya utama. Sekaligus juga menawarkan subsidi kepada kontraktor yang ingin membangun charging station.
Melansir laman Norks Elbilforening, upaya memanjakan calon pengguna EV tak sampai disitu. Masih ada sederet keuntungan lain. Dalam kurun 1996 sampai 2021, pemerintah membebaskan pajak jalan raya, biaya tol dan memberi diskon parkir khusus kepada pengguna EV.
Ini belum termasuk kebijakan seperti yang terjadi di Indonesia kini, yakni insentif kendaraan listrik. Jelas, siapapun yang diberi penawaran seperti itu akan tergoda.
Maka, tak heran sejak kebijakan itu diluncurkan angka pembelian kendaraan listrik melonjak drastis sampai sekarang. Bahkan, pemerintah resmi menargetkan seluruh kendaraan harus 100% bebas emisi pada 2025.
Meski begitu, ada catatan khusus jika kita ingin benar-benar meniru cara Norwegia. Yakni, jangan melupakan transportasi publik dan jangan pura-pura ‘suci’.
Penulis dan pemerhati kendaraan listrik, Micah Toll, lewat laman Electreck menyebut peningkatan EV di Norwegia membuat jalanan macet. Pemerintah terlalu memanjakan publik, sehingga melupakan bahwa transportasi massal berkelanjutan adalah penting yang lebih dari sekedar penghapusan emisi.
Lalu, menurut Nina Jensen kepala organisasi lingkungan hidup WWF cabang Norwegia kepada Deutsche Welle, di negaranya memang emisi menurun drastis, tetapi di dunia tidak.
Peningkatan kendaraan listrik seakan melupakan fakta kalau Norwegia tetap saja menyumbang emisi dunia lewat kontribusinya sebagai produsen minyak dan gas bumi terbesar di dunia. Artinya, janji menurunkan emisi tersebut bersifat semu.