Toko Buku Gunung Agung tengah menjadi sorotan publik. PT GA Tiga Belas yang menaunginya dikabarkan telah melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak kepada 350 karyawannya. Selain itu, dikabarkan juga pihak manajemen akan melakukan efisiensi dengan menutup toko yang tersisa.
Banyak pihak yang https://rtpdwslot88.org/ menyayangkan keputusan ini. Pasalnya, Gunung Agung termasuk toko buku legendaris di Indonesia.
Dalam sejarahnya, awal mula toko ini berakar pada pendirian Thay San Kongsi oleh Tjio Wie Tay, Lie Thay San dan The Kia Hoat pada 1948. Mereka mendirikan perusahaan kecil itu bermodalkan rokok yang mereka curi dari gudang perusahaan Perola. Awalnya, Thay San Kongsi ingin bergerak di jual-beli bir dan rokok. Namun, karena pasar buku yang tinggi perusahaan itu akhirnya memilih fokus jualan buku.
Ketika Thay San Kongsi mulai berkembang terjadilah pecah kongsi di antara mereka. Perpecahan ini membuat Wie Tay mengubah toko itu menjadi bentuk PT bernama Gunung Agung, tepat pada 8 September 1953. Tanggal inilah yang kemudian dirayakan sebagai ulang tahun Gunung Agung.
Pada awal keberadaannya, Gunung Agung menjadi sentra jual-beli buku di Jakarta. Hal ini terjadi karena Gunung Agung menjadi satu-satunya toko buku yang menjual 10.000 buku. Animo publik pun kian bertambah usai banyak wartawan dan penulis yang ingin menjual bukunya di sana.
Seiring waktu, toko Gunung Agung pun melahirkan banyak cabang di Tanah Air. Saking terkenalnya, ketika orang membahas toko buku pasti akan mengingat Gunung Agung.
Memasuki tahun 1970-an, tulis buku Apa dan Siapa? (2004) Gunung Agung tak lagi sebatas menerbitkan dan menjual buku, tetapi juga mulai bermain di sektor pariwisata, perhotelan, dan penukaran uang. Hal ini membuat Wie Tay yang kemudian berubah nama menjadi Masagung makin berjaya dan kaya raya. Predikat ‘Raja Toko Buku’ pun dipegangnya.
Namun, di puncak kejayaan itulah ada satu peristiwa yang mengubah nasib Masagung ke depannya. Peristiwa itu adalah pertemuan Masagung dengan ‘orang pintar’.
Kisah ini diceritakan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya (2009).
Cerita bermula di tahun 1970-an, atau saat Masagung berusia 50 tahun. Kala itu dia mengalami semacam krisis kesadaran. Kehidupan yang super nyaman, banyak duit dan punya kedudukan terhormat, rupanya membuat Masagung takut.
Dia tidak ingin kenyamanan itu malah membawanya ke dunia maksiat. Beruntung, pada kondisi ini dia tanpa sengaja bertemu Ibu Tien Fuad Muntaco.
Denys Lombard menyebut Tien Fuad Muntaco sebagai pakar hipnotisme dan telepati. Dia semacam ‘orang pintar’ karena mengklaim mampu melihat Sunan Kalijaga di usia 19 tahun.
“Usai pertemuan itu, dia jatuh di bawah pengaruh spiritual Ibu Tien dan memutuskan untuk pindah agama dari Hindu ke Islam,” tulis Denys.
Pengaruh kuat dari Tien Fuad Muntaco itu rupanya mampu membuat kehidupan Masagung berubah drastis. Leo Suryadinata dalam Southeast Asian Personalities of Chinese Descent (2012) menyebut dia jadi lebih Islami dan menjadi tokoh penyebaran ajaran ke-Islaman.
Tercatat dia mendirikan Yayasan Jalan Terang yang bertujuan membiayai pembangunan masjid, rumah sakit, dan museum Wali Songo. Tak hanya itu, dia juga aktif berperan dalam dakwah masjid di Ibukota. Dan tak lupa, dia aktif mempromosikan Islam lewat menerbitkan buku-buku Islami.
“Setelah mengalami masa muda yang resah, tindakan Masagung untuk merangkul tradisi Jawa dan kegemarannya pada kebatinan merupakan langkah-langkah maju,” puji Denys Lombard kepada Masagung.
Upaya menebar ajaran Islam ini terus dilakukan hingga dia menghembuskan nafas terakhir pada 24 September 1990.