Bos Ritel Ngaku Nekat, Tak Takut Gugat Kasus Minyak Goreng
Ketua Umum Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey bersiap untuk maju menggugat Kemendag secara hukum terkait utang rafaksi atau pemotongan harga minyak goreng. Saat ini, kata dia, pihaknya tengah mempersiapkan legal standing setelah berhasil mengajak produsen dan distributor bekerjasama menuntut pemerintah.
“Kami perlu memastikan legal standingnya terpenuhi. Legal standing artinya perjanjian dengan pemerintah itu tidak langsung ke ritel tapi ke produsen, jadi perlu ada bersama-sama, https://rumahkasterbaik.store/ produsen dan distributor yang terdampak rafaksi belum dibayar, bersama peritel, kita gugat pemerintah,” jelasnya
“Kami tidak akan mundur, tidak akan menyerah, tidak akan takut, tidak khawatir sama siapapun karena ini bicara mengenai kewajiban yang sudah kami penuhi sesuai dengan perintah peraturan Mendag,” pungkasnya.
Ia juga menyayangkan sikap Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan atau akrab disapa Zulhas yang malah asyik sibuk mengurusi partai-nya, tapi enggan menyelesaikan pembayaran utang rafaksi minyak goreng senilai Rp344 miliar kepada peritel.
Padahal, lanjutnya, Kementerian Perdagangan sendiri sudah mendapatkan arahan dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) agar mengadakan rapat khusus bersama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) membahas utang sejak Agustus 2023 kemarin. Namun rapat pembahasan itu sampai dengan sekarang ini masih belum terealisasi.
“Yang lalu surat dari Kemenko Polhukam dari Agustus, nah itu ngapain aja? Masa 1 jam atau 2 jam mungkin kalau disibukkan kampanye, yang lalu ngapain saja? 1 atau 2 jam untuk pernyataan Kemenko Polhukam agar rapat tidak terjadi?” kata Roy dalam konferensi pers Aprindo di Jakarta, Kamis (18/1/2024).
“Jadi kalau ditanya sibuk-sibuk, kami nggak mengerti kata sibuk itu, cuma jarak 1,5 kilometer kantor Kemendag dengan kantor Kemenko Perekonomian di lapangan banteng. Kalaupun nggak bisa yah online. Bayar dong rafaksi jangan dalil kepentingan kehati-hatian,” imbuhnya.
Masalah Rafaksi Minyak Goreng
Pengusaha ritel menagih pembayaran utang kepada pemerintah sebesar Rp 344 miliar (untuk 31 perusahaan yang memiliki kurang lebih 45.000 toko yang mengikuti program refaksi minyak goreng 2022), kini pabrikan minyak goreng selaku produsen untuk pertama kalinya membuka tabir nilai kerugian yang diperoleh.
Tiga raksasa perusahaan besar yakni Wilmar, Musim Mas hingga Permata Hijau Grup mengungkapkan nilai kerugian akibat polemik minyak goreng hampir tembus Rp 2 triliun. Angka ini diperoleh berdasarkan perhitungan dari Kantor Akuntan Publik seperti Ernst & Young.
“Wilmar rugi Rp 947.379.412.161, Permata Hijau Grup Rp 140.823.360.233 dan Musim mas Rp 551.585.768.587, total sekitar Rp 2 triliun,” ungkap Kuasa Hukum ketiga perusahaan tersebut, Marcella Santoso kepada CNBC Indonesia, Senin (16/10/23).
Nilai kerugian ini terjadi karena kerap berubahnya regulasi dari pemerintah. Dimulai ketika keluarnya Permendag 01 Tahun 2022 Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Sederhana untuk Kebutuhan Masyarakat pada 11 Januari 2022. Dari aturan ini produsen dapat menyediakan minyak goreng kemasan sederhana dengan mekanisme Rafaksi subsidi, dimana produsen akan memperoleh Dana Pembiayaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) setelah melakukan penjualan kepada konsumen sesuai dengan HET.
“Pertama penetapan HET (Harga Eceran Tertinggi) ditetapkan Rp 14 ribu/liter, padahal biaya produksinya 17 ribu/liter. Pengusaha protes karena setiap liter kita rugi Rp 3 ribu, kata pemerintah tenang aja dibikin peraturan kalian disubsidi BPDPKS, Pokoknya cepat disebarkan. Baru dua Minggu nilai subsidi Rp 800 miliar, dianggap terlalu besar BPDPKS menyubsidi, jadi dibatalkan diganti syarat Persetujuan Ekspor (PE),” tutur Marcella.
Baru satu minggu berjalan, pada 18 Januari 2022 aturannya berubah dimana keluar Permendag Nomor 2 Tahun 2022 yang mengatur persyaratan bagi produsen/eksportir CPO dan produk turunannya untuk memperoleh Persetujuan Ekspor melalui domestic market obligation (DMO). Semula nilai DMOnya sebesar 20% lalu naik menjadi 30%. Berubahnya aturan membuat kewajiban subsidi pemerintah melalui BPDPKS jadi menggantung dan belum terbayarkan hingga kini.