Arab Saudi, negeri Raja Salman, kini mulai terang-terangan menunjukan kedekatan ke China dan Rusia. Awal pekan ini, Kabinet Arab Saudi menyetujui keputusan untuk bergabung dengan blok keamanan yang dipimpin China, Organisasi Kerjasama Shanghai (SOC).
SOC sendiri merupakan aliansi politik, keamanan dan perdagangan. Bukan hanya China, lawan Washington lain yakni Rusia juga menjadi anggota penuh, selain sejumlah negara seperti India Pakistan, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Uzbekistan, dan Tajikistan.
Melansir CNBC International yang mengutip badan pers kerajaan melaporkan bahwa dalam rapat kabinet yang dipimpin Raja, pemerintah menyetujui sebuah memorandum khusus, memberi Riyadh status “mitra” di SOC. Kedudukan ini sama seperti Turki, Qatar, Mesir dan Iran di aliansi itu.
Langkah ini menjadi tamparan untuk Amerika Serikat (AS). Perlu diketahui, Arab Saudi secara tradisional adalah sekutu dekat AS di jazirah Arab.
China dan Rusia saat ini dipandang sebagai rival Paman Sam. AS bermasalah dengan China dari banyak sisi mulai dari hak asasi manusia (HAM), perdagangan, teknologi, Covid-19 dan Taiwan sementara Rusia terkait NATO, hingga perang di Ukraina.
AS sendiri tak banyak bicara soal ini. Namun melalui juru bicara Departemen Luar Negeri Vedant Patel mengecilkan dampak SOC.
“Setiap negara memiliki hubungan sendiri-sendiri,” kata Patel.
Hubungan yang Memburuk
Sebenarnya, hubungan antara Arab Saudi dan AS mulai memburuk pada era administrasi Presiden Joe Biden. Selama masa kampanyenya pada 2020 lalu, Biden telah menyudutkan kerajaan dengan menyebutnya negara ‘pariah’ karena isu HAM.
Tak hanya itu, Gedung Putih juga terus mengalamatkan tuduhan pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi kepada Putra Mahkota Saudi, Mohammed Bin Salman (MBS). MBS adalah pemimpin de facto Arab Saudi.
Torbjorn Soltvedt, analis utama MENA di Verisk Maplecroft, dalam sebuah catatan email tahun 2021 lalu mengatakan bahwa ini merupakan penghinaan. Tidak selesai sampai disitu, Biden juga sempat menilai bahwa dukungan AS kepada Arab Saudi sehubungan dengan perang di Yaman harus dihentikan.
Langkah ini pun mulai mengundang reaksi dari Riyadh. Saudi pun mulai mengambil jalan yang berbeda dengan apa yang dipikirkan Washington.
Soal Minyak
Ketegangan terlihat jelas di 2022 lalu. Kala itu Biden berkunjung langsung bertemu dengan MBS untuk meminta Arab Saudi menggenjot produksi minyak sehubungan dengan lonjakan harga pasca perang Rusia-Ukraina.
Diketahui, Arab Saudi merupakan eksportir minyak terbesar dunia dan juga kekuatan penting dalam organisasi negara pengekspor minyak, OPEC dan OPEC+, di mana terdapat Rusia di dalamnya. Namun, Arab Saudi justru menolak permintaan Biden itu dan terus memotong produksi minyak.
Negeri itu beralasan bahwa ini disebabkan oleh permintaan yang melemah. Ini disebabkan China, pembeli 25% minyak Arab Saudi, sedang mengalami lockdown karena kebijakan ketat Covid-19.
Keputusan itu memicu kemarahan di sekitar pejabat AS. Para pejabat mengatakan Biden secara pribadi kecewa dengan apa yang mereka sebut keputusan “pandangan sempit”.
Senator AS Richard Blumenthal dan anggota Kongres Ro Khanna bahkan menuding Arab Saudi berkolusi dengan Rusia. Pasalnya, hasil keputusan OPEC+ diyakini akan meningkatkan pendapatan energi Moskow.
Terbaru di 2023, AS diketahui ingin menelurkan RUU NOPEC. Ini merupakan aturan untuk melindungi warga AS dari kenaikan harga minyak namun disebut bisa kapan sana menekan negara OPEC.
Rudal China dan Petroyuan
Tapi jika ditilik lagi, sebenarnya kedekatan Arab Saudi dengan China terutamanya, sangat dekat beberapa tahun terakhir. Sejumlah pemberitaan juga menyebutkannya.
Di tahun itu, Arab Saudi disebut memproduksi rudal balistik dengan bantuan China. CNN International dan CNBC International melaporkan hal ini dari laporan badan intelijen AS.
Gambar satelit bahkan menunjukkan bahwa kerajaan tengah memproduksi rudal di sebuah lokasi. Mengutip pejabat AS, intelijen dikatakan mengungkap beberapa transfer skala besar teknologi rudal antar kedua negara.
Foto itu diambil oleh Planet, sebuah perusahaan pencitraan komersial, antara 26 Oktober dam 9 November. Operasi pembakaran terjadi di fasilitas dekat Dawadmi, Arab Saudi.
Sementara di 2022, beredar kabar bahwa Arab Saudi disebut sedang dalam pembicaraan aktif dengan China terkait penggunaan mata uang Yuan untuk membeli minyak. Hal ini disebut sebagai langkah baru guna mengurangi dominasi dolar AS di pasar minyak global.
Wall Street Journal menulis, pembicaraan ini sebenarnya sudah terjadi selama enam tahun terakhir. Namun ketidaksenangan Negeri Raja Salman pada komitmen keamanan AS pada kerajaan beberapa dekade ini membuat pembicaraan kian gencar.
“Arab Saudi marah atas kurangnya dukungan AS untuk intervensi mereka dalam perang saudara Yaman dan atas upaya pemerintahan Biden untuk mencapai kesepakatan dengan Iran mengenai program nuklirnya,” tulis media itu mengutip sumber kala itu.
“Para pejabat Arab Saudi mengatakan mereka terkejut dengan penarikan mendadak AS dari Afghanistan tahun lalu,” tambahnya.
Berteman dengan Iran
Baru-baru ini, Arab Saudi juga membuat kejutan dengan memutuskan untuk melanjutkan kembali hubungan diplomasinya dengan Iran. Padahal, Washington dan mitranya di Timur Tengah, Israel, masih memandang Iran sebagai negara yang menyimpan ancaman regional besar.
Lagi-lagi, China berperan aktif dalam kesepakatan ini. Kesepakatan keduanya muncul saat perwakilan kedua negara bertemu di Beijing, China, 10 Maret lalu.
Terlihat foto yang menunjukan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran Ali Shamkhani berjabat tangan dengan penasihat keamanan nasional Saudi Musaad bin Mohammed Al Aiban.
Sementara itu diplomat paling senior China, Wang Yi, berdiri di antara mereka. Wang mengatakan bahwa China akan terus memainkan peran konstruktif dalam menangani masalah hotspot dan menunjukkan tanggung jawab sebagai negara besar.
Beberapa analis mengatakan bahwa ini merupakan bukti semakin kuatnya peran China pada arena politik global, mengalahkan AS. Mantan pejabat senior AS dan PBB Jeffrey Feltman mengatakan peran China adalah aspek paling signifikan dari perjanjian tersebut.
“Ini akan ditafsirkan, mungkin secara akurat, sebagai tamparan pada pemerintahan Biden dan sebagai bukti bahwa China adalah kekuatan yang sedang naik daun,” kata Feltman, yang juga seorang peneliti di Brookings Institution, kepada Reuters.
Hal serupa juga diungkapkan Daniel Russel, diplomat top AS untuk Asia Timur di bawah mantan presiden Barack Obama. Ia mengatakan tidak biasa bagi China untuk bertindak sendiri untuk membantu menengahi kesepakatan diplomatik dalam perselisihan yang bukan merupakan salah satu pihak.
“Pertanyaannya adalah apakah ini bentuk yang akan datang. Mungkinkah itu menjadi pendahulu upaya mediasi China antara Rusia dan Ukraina ketika (Presiden Xi Jinping) mengunjungi Moskow?,” terangnya.